Platinum

Pelajaran Dari Chuncheon Bagi Pembinaan Sepak Bola Usia Dini

24 June 2022
.
Pelajaran Dari Chuncheon Bagi Pembinaan Sepak Bola Usia Dini

Yo Sugianto

Oleh : Yo Sugianto 
 

Tak terbayangkan dalam angan-angan 13 anak-anak, yang tertua 12 tahun, itu bisa pergi ke Korea Selatan. Bukan untuk berlibur, karena ini pun juga sangat berat dari segi ongkos.

Mereka yang tergabung dalam tim Astara (Akademi Sepakbola Nusantara) Sleman mendapat kesempatan melawat ke Negeri Ginseng untuk bertanding dengan tim dari lima negara pada 7-12 Juni 2022.

Astara berdiri sejak 2012 mewakili Indonesia dalam laga Son Heung Min International U12 Friendship Soccer Competition di kota Chuncheon, provinsi Gangwon, Korea Selatan.

Peluang untuk menjajaki pengalaman bertanding ke luar negeri tak lepas dari bantuan pemerintah daerah DI Yogyakarta. Hubungan bilateral dengan Chuncheon yang baik membuka kesempatan itu.

“Hampir 100 persen yang terkait dengan akomodasi dibiayai oleh Pemda Yogyakarta melalui Dinas Investasi dan Penanaman Modal DIY,” tutur Ketua Asosiasi Sepakbola PSSI Sleman, Wahyudi Kurniawan yang ikut menyertai Astara bersama 4 ofisial lainnya.

Kiprah Astara melakukan pembinaan sepakbola usia dini sudah dikenal di Sleman. Akademi ini dihuni oleh para pemain pilihan dari Sekolah Sepakbola (SSB) yang ada di Sleman. Tercatat ada 34 SSB dengan 26 SSB yang sudah terafiliasi. Dari kompetisi beberapa kelompok usia yang diputar secara rutin setiap tahunnya dan diikuti 26 SSB diambil pemain terbaik untuk dibina di Astara.

Chuncheon sendiri dikenal sebagai kota kelahiran Son Heung-Min, striker Tottenham Hospur yang tahun ini bersama Mohamed Salah menyabet Sepatu Emas Liga Primer Inggris. Keduanya menorehkan jumlah gol yang sama, 23 gol. Son menjadi pemain Asia pertama yang mendapatkan Sepatu Emas di kompetisi Liga Inggris.

“Saya menegaskan kepada para pemain Astara bahwa mengikuti laga persahabatan di Chuncheon bukanlah untuk menjadi juara. Menang kalah itu soal biasa, karena yang utama adalah pengalaman bertanding dengan tim luar negeri, menunjukkan kemampuan dan fair play dengan kerendahan hati,” jelas Wahyudi yang juga owner Astara.

Dari 5 pertandingan yang dilakoni, Astara memetik hasil yang membanggakan. Tiga kali menang atas tuan rumah Son Football Academy (2-1), Vietnam (6-0), Mongolia (5-1) dan kalah dari Kolombia (2-3) serta Singapore (2-4).

“Meski meraih hasil bagus, namun bukan itu tujuan utama mengikuti pertandingan persahabatan di Chuncheon. Di usia 8 hingga 12 tahun merupakan masa pembentukan karakter seorang pemain. Disiplin dan sebagainya dibentuk di jenjang usia itu,” jelas WK.

Dalam kaca mata Yuyud Pujiarto, salah satu ofisial Astara, kesempatan bagi para pemain ini sangat luar biasa. Bisa mengikuti even yang cukup besar dengan melibatkan 6 negara yang timnya sering tampil di Piala Dunia seperti Kolombia dan Korea Selatan.

“Di kelompok U-12 kita tidak kalah. Saat menghadapi tuan rumah bisa mengejar ketinggalan gol sehingga menang 2-1. Dari segi skill individu memang kalah tapi untuk semangat berjuang para pemain lebih unggul sehingga meraih kemenangan,” ujar Yuyud yang mantan pelatih PSS Putri.

Banyak pelajaran yang didapat oleh para pemain dan ofisial Astara selama di Chuncheon itu. Apalagi mereka juga mendapat kesempatan mengunjungi Son Football Academy, menyaksikan langsung penggunaan teknologi dalam pertandingan dan lainnya.

Wahyudi melihat bagaimana ekskutif dan legislatif di Chunsheon begitu serius dan konsisten membangun infrastruktur olahraga. Suatu ciri khas bagi negara yang memiliki budaya sepakbola kuat.

Sinergi itu menunjukkan optimalisasi kerjasama dengan dinas-dinas terkait dan orangtua para pemain.tentang bagaimana melakukan pembinaan sepakbola.

“Kita tidak bisa berjalan sendiri, baik soal infrastruktur, sumber daya manusia dan aspek-aspek lain. Termasuk juga menggelar kompetisi usia dini secara rutin untuk menghasilkan pemain-pemain terbaik yang dipilih pada jenjang kompetisi lainnya,”tambahnya.

Keseriusan menggarap infrastruktur dalam pembinaan usia dini juga harus diikuti oleh pembinaan di daerah. Hasil di daerah ini yang menjadi awal dari prestasi timnas.

Ini sangat penting, tambahnya, karena ini penerapan secara nyata di daerah merupakan implementasi Inpres No 3 tahun 2019 tentang Pembangunan Percepatan Sepak Bola Nasional. Tidak sekedar jadi jargon “siap … siap” di media massa semata.

Peran pemerintah daerah sangat besar untuk ikut mendukung perkembangan sepakbola. Itu bisa dilakukan dengan melakukan pendampingan bersama federasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

“Bukannya melakukan kegiatan politik melalui sepakbola yang cuma bertujuan untuk tebar pesona. Berpolitik boleh saja tapi jangan mengesampingkan pembinaan sepakbola di daerah,” tegas Wahyudi Kurniawan yang akrab disapa WK.


Pola Pikir

Bagi warga pun diberikan edukasi tentang makna sportivitas. Ini yang belum terjadi atau terwujud di Indonesia. 

Pemerintah di Korea Selatan mampu mengubah pola pikir dari orangtua pemain yang di banyak negara, termasuk Indonesia, menginginkan kemenangan demi kemenangan. Mereka, para orangtua itu lupa bahwa dalam rentang usia dini hingga 12 tahun butuh proses yang panjang.

Dalam proses itu anak-anak dibiarkan menikmati permainan sepakbola. Mendapatkan pelajaran disiplin, menghargai lawan, tidak mementingkan kemenangan karena menang kalah itu hal yang lumrah terjadi.

Penanaman pola pikir itu berhasil membuat orangtua tidak lagi memaksakan kehendak kepada anaknya untuk menang dan menang, menyabet gelar juara.

Saat memberikan dukungan, mereka datang, ke tempat parkir kendaraan lalu masuk ke tribun penonton. Di sana juga tak hanya keluarga pemain tapi juga masyarakat lain yang ingin menyaksikan aksi pemain muda di lapangan.

“Saat memasuki lapangan mereka sudah lepas tangan, menyerahkan semua tanggungjawab ke pelatih. Beda di sini, masih ada orangtua yang masih melakukan intervensi agar anaknya terpilih dalam tim,” tutur WK.

Apa yang disampaikan oleh WK itu tak salah. Bukan rahasia lagi jika ada orangtua yang memberikan tekanan atau melakukan pendekatan ke pelatih agar anaknya terpilih dalam tim inti. Ditambah lagi obsesi menjadi pemenang, menjadi juara.

“Untuk melahirkan pemain seperti Son Heung-Min (striker Korea Selatan yang meraih sepatu emas bersama Mo Salah) butuh proses panjang. Kita berinvestasi pada pembinaan usia 8, 10 dan 12 tahun, tidak bisa memetik hasil dalam sekejap. Hasilnya akan terlihat 5 tahun ke depan,” kata Wahyudi Kurniawa yang juga Ketua Asosiasi Kabupaten (Askab) PSSI Sleman, beberapa waktu lalu.

Sambil menikmati jajanan pasar dan kopi, ayah dua anak yang akrab disapa WK itu menegaskan kembali bahwa pembinaan sepakbola usia dini bukan hal mudah.

“Kita harus benar-benar istiqomah. Dibutuhkan keikhlasan, kesabaran karena ada proses yang dilalui dengan hasil yang tidak instan,”tambah WK.

Sedangkan aspek lain yang membuat perbedaan adalah diterapkannya sport science. Misalnya pada gizi, psikologi, pemakaian GPS flight together saat pertandingan. Tak heran jika dari segi postur terlihat perbedaan, lebih tinggi, meski dari segi skill individu pemain Astara tidak kalah.

Sisi lain yang juga perlu dibenahi adalah jalur pembinaan yang saat ini berjalan yakni berbasis pada regional (regional base) dan klub (club base).

Apakah anak-anak itu dibina mau ke Elite Pro Academy (EPA), Porda, Popda atau PON?

“Ini harus disinkronkan semua jalurnya, misalnya pembinaan club base untuk usia ganjil sedangkan regional base usia genap. Namun ini juga tak mudah karena dalam realisasinya tetap bertabrakan, termasuk juga tanggungjawab regional base di bawah usia 16 tahun,” jelasnya.

Belum lagi berbicara soal data base, yang ironisnya belum juga tergarap baik hingga saat ini. Sesuatu yang sudah digembor-gemborkan sejak lama. Akibatnya, pelatih timnas berbagai kelompok usia sering bingung untuk mencari pemain.

“Bagaimanapun kendala yang ada kita tak boleh menyerah. Tetap berusaha memperbaiki berbagai kekurangan yang ada. Banyak potensi di daerah-daerah. Pembinaan di daerah harus tetap berjalan meski masih kurang dilirik. Ada tanggungjawab besar di situ bagi kemajuan sepakbola Indonesia,” tegas Wahyudi Kurniawan. ***g


*Penulis suka sepakbola dan puisi, tinggal di Sleman.

 

Griting

Baca Juga