Dr Mukhijab MA: Rumah Subsidi untuk Wartawan, Sinisme Terselubung Saat Industri Pers Terpuruk
Muh Sugiono
17 April 2025
.
Dr Mukhijab MA: Persyaratan rumah subsidi wartawan sulit terpenuhi. (PM-dok pribadi)
Patmamedia.com (YOGYAKARTA)– Program pemerintah untuk menyediakan 1.000 unit rumah subsidi bagi wartawan menuai kritik. Pengamat sosial Universitas Widya Mataram (UWM), Dr. Mukhijab MA, menilai program ini sekadar basa-basi politik, terutama di tengah kondisi industri media yang sedang lesu.
Menurutnya, syarat pengajuan program yang mencantumkan pendapatan wartawan maksimal Rp8 juta (lajang) atau Rp13 juta (berkeluarga) per bulan sulit dipenuhi oleh sebagian besar wartawan saat ini.
“Mungkin sepuluh tahun lalu syarat itu masih relevan. Tapi hari ini? Mana ada perusahaan media yang mampu menggaji wartawan sebesar itu?” ujar Dr. Mukhijab kepada Patmamedia.com melalui WhatsApp, Kamis (17/4/2025).
Ketua Program Studi Sosiologi Fisipol UWM itu menyebut kriteria penghasilan tersebut sebagai bentuk sinisme terselubung. Ia menyarankan, daripada menawarkan program dengan syarat rumit, pemerintah sebaiknya menjamin upah layak bagi jurnalis.
“Kalau wartawan sejahtera, mereka bisa akses KPR tanpa perlu jalur khusus yang justru bisa mencederai independensi pers,” tambahnya.
Dr. Mukhijab, yang juga mantan wartawan Pikiran Rakyat, menyarankan agar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menolak program tersebut demi menjaga kehormatan dan independensi profesi wartawan.
Senada, wartawan senior Suara Merdeka, Sugiarto, menyebut program itu hanya manis di bibir. Ia menilai pemerintah tak memahami kondisi riil di lapangan.
“Banyak wartawan yang gajinya dibayar tiga bulan sekali, bahkan ada yang tanpa gaji. Untuk biaya operasional saja harus nombok dari kantong sendiri. Jadi, program ini seperti angin lalu,” katanya sambil berkelakar, “Manis di bibir, pahit di hati.”
Namun, tidak semua pihak menilai negatif. Ketua PWI DIY, Hudono SH, justru menyambut baik program rumah subsidi untuk wartawan. Ia menyebut sudah ada sejumlah wartawan di Yogyakarta yang tertarik dan menanyakan kapan program ini akan berlaku di wilayah mereka.
Antusiasme itu meningkat setelah penandatanganan nota kesepahaman antara Kementerian PUPR, Kominfo (Komdigi), dan BPS pada 8 April lalu. Pemerintah menyatakan rumah subsidi ini juga dialokasikan untuk guru, tenaga kesehatan, anggota TNI/Polri, dan masyarakat berpenghasilan rendah.
“Program ini menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap insan pers, sejajar dengan profesi-profesi penting lainnya,” ujar Hudono kepada Patmamedia.com.
Terkait syarat penghasilan, Hudono meluruskan bahwa yang dimaksud adalah total pendapatan per bulan, bukan gaji pokok. Dan angka dimaksud itu maksimal, bukan minimal. Jadi bisa Rp4 juta - 8 juta (lajang) dan Rp8 juta - 13 juta (berkeluarga).
Ia juga menjelaskan bahwa petunjuk teknis program masih dalam proses penyusunan. Berdasarkan informasi dari Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch, subsidi akan difokuskan pada penghapusan pajak bangunan dan tanah, sehingga harga rumah bisa ditekan.
“Dengan luas 160 meter persegi, harga rumah hanya sekitar Rp160 juta, dicicil 20 tahun dengan angsuran kurang dari satu juta rupiah per bulan. Saya yakin banyak wartawan akan tertarik,” jelasnya.
Dukungan juga datang dari Fajar Rianto, jurnalis media online di Yogyakarta. Ia menyebut bahwa apapun motif pemerintah, yang terpenting adalah banyak wartawan yang memang membutuhkan rumah layak dengan harga terjangkau.
“Faktanya, banyak wartawan belum punya rumah. Jadi, daripada mencurigai dulu, mari lihat dulu juklak dan juknis-nya. Jangan tolak sebelum tahu isi lengkapnya,” ujarnya.
Terkait kekhawatiran akan independensi, Fajar menegaskan bahwa wartawan tetap bisa menjalankan fungsi kontrol sosial secara profesional, sekalipun menerima fasilitas dari negara.***