.
Para pemburu buku lawasan di ladang perburuan Soping Jogja. (PM-Istimewa)
DI LINGKUNGAN tempat tinggalnya di kawasan Jogja barat, laki-laki berusia 57 tahun itu dikenal sebagai reseller buku lawasan (bekas) yang tangkas. Ujung rambutnya yang gondrong tampak meneteskan peluh dan membasahi kerah baju kaos yang satu kancingnya dibiarkan terbuka. Ditambah celana panjang komprang dan sandal jepit telah menipis, lengkaplah penampilannya sebagai sosok laki-laki pekerja keras.
Blio, demikian para pelanggannya biasa menyapa, sering dikait-kaitkan mirip Jaja Miharja. Andai saja ia menguncir rambutnya dan mengolesinya dengan pomade hingga kelimis, lalu mengenakan setelan kemeja lengan panjang dan pantalon yang rapi, niscaya orang akan menyangkanya benar-benar penyanyi dangdut pelantun lagu Cinta Sabun Mandi tersebut. Sayangnya, Blio tak punya waktu untuk berdandan senjelimet itu.
Pagi itu ia telat bangun tidur gara-gara malamnya begadang tugas ronda di kampung. Buru-buru ia cuci muka lalu menyambar helm Hello Kitty dan jaket yang tergantung di stang sepeda motornya. Agak ngebut ia memacu motornya menuju tempat kulakan buku loak di Shooping Center di Jalan Panembahan Senopati, pusat kota Jogja. Sudah lama sebenarnya tempat itu berganti nama menjadi Taman Pintar Book Store, namun warga Jogja termasuk Blio tetap menyebutnya “Soping”.
Berkendara sepeda motor menyusuri jalan kota Jogja di pagi buta yang dingin, membuat tubuh laki-laki itu terasa segar. Jika langit cerah, ia akan akan beruntung bisa melihat keindahan matahari terbit yang menyembul dari puncak bangunan gedung di ufuk timur. Tak perlu meniru kaum perlente yang harus pergi ke pantai atau tempat-tempat khusus untuk menikmati sunrise ataupun sunset menjelang petang. Tuhan memberikan keduanya dalam satu paket gratis kepada Blio.
Sampai di depan kios buku langganannya yang belum sepenuhnya dibuka, Blio berhenti. Dari dalam kios sudah langsung terdengar teriak perempuan menyapanya, “Good morning Mr. Blio”.
“Ngerti wae nek sik teka aku,” jawab Blio sambil tertawa.
“Sapa meneh sik hobi nganggo parfum rheumason liyane sampeyan?” balas pemilik kios sambil tertawa pula.
Begitulah, hampir di setiap kesempatan Blio memang selalu melumuri tubuhnya dengan balsem beraroma tajam itu. Sehingga orang terkadang bisa langsung menebak kehadirannya sebelum sosoknya kelihatan, karena hapal aroma khas yang dibawanya. Kepada pemilik kios, Blio menyerahkan kertas berisi catatan judul buku-buku yang harus dibelinya.
Catatan itu cukup panjang karena buku-buku pesanan dari pelanggannya di rumah cukup banyak. Dari novel, komik, sejumlah buku akedemik pesanan beberapa mahasiswa, beberapa buku pengetahuan umum pesanan seorang caleg, hingga kertas bekas untuk bungkus lombok pesanan ibu-ibu pedagang di Pasar Kranggan. Sialan!
Tapi bagi Blio, customer is king. Ia tetap harus berbuat sebaik—baiknya untuk memuaskan semua pelanggannya. Dari buku-buku sastra klasik hingga buku politik konteporer bagi laki-laki itu tak ada bedanya. Ia tak perlu pusing untuk membacanya. Sebab, yang harus dilakukannya adalah mencatat pesanan, mencari bukunya sampai dapat lalu menjualnya lagi dengan keuntungan secukupnya.
Setelah semua buku yang dicarinya ketemu, dengan sigap ia menumpuknya di atas meja kasir untuk dihitung harganya, lalu membayarnya lunas dan bersiap pulang.
Terkadang ia mampir dulu ke angkringan seberang jalan, sekadar mengisi perut dengan secangkir kopi dan sebungkus nasi kucing dan sepotong mendoan. Jika sedang beruntung bisa nongkrong bareng dengan sesama pemburu buku loak laiannya, sudah pasti mereka langsung heboh berkelakar.
Yang satu pura-pura mengeluh karena Rubicom-nya mendadak macet hingga pergi kulakan buku terpaksa pakai motor Supra. Temannya tak mau kalah, gantian membual pagi-pagi hampir pingsan saat memanasi mesin Harley miliknya tiba-tiba menyadari suara brong-brong-nya hilang. Rupanya anak-anak usil menyumpal knalpot moge itu dengan bungkus Wasabi.
Bualan khas angkringan Jogja yang menghibur. Namun, pagi itu mata Blio benar-benar mengantuk untuk dibawa nongkong ke angkringan apalagi berkendara pulang. Akhirnya pejuang keluarga yang gigih itu tertidur pulas dengan tangan bersedekap di sebelah kios buku bersandar pada dinding kosong.
Sementara aroma balsem terus menguar dari tubuhnya, menusuk hidung para pengunjung lain yang mulai berdatangan. Tetapi mereka hanya tersenyum karena sudah lama mengenal laki-laki gondrong itu sebagai Tuan Besar Rasa Balsem.***
Editor: Muh Sugiono